Candi Ngetos, yang terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, merupakan salah satu peninggalan arkeologis penting yang berdiri megah di tengah permukiman penduduk. Candi ini bercorak Hindu-Siwa, sebagaimana dibuktikan melalui penemuan arca-arca Siwa dan Wisnu di sekitarnya. Secara umum, para ahli memperkirakan bahwa Candi Ngetos dibangun pada abad ke-15 Masehi, pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Konstruksi bangunannya khas candi Majapahit, menggunakan bahan batu bata merah dan menghadap ke arah matahari tenggelam—suatu orientasi yang sering kali bermakna simbolis dalam kebudayaan Hindu-Jawa.
Candi ini diketahui pernah mengalami restorasi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sayangnya, metode restorasi tersebut menggunakan campuran semen yang tidak sesuai dengan teknik asli pembangunan candi berbahan bata merah. Secara tradisional, teknik penyusunan bata merah dalam pembangunan candi dilakukan dengan sistem gosok dan menggunakan air sebagai perekat alami, sehingga menghasilkan struktur yang menyatu dan tahan lama.
Hingga kini, nama asli dari Candi Ngetos masih menjadi perdebatan di kalangan arkeolog dan sejarawan. Belum ditemukan sumber otentik, baik berupa prasasti maupun naskah sezaman, yang secara tegas menyebutkan nama, pendiri, maupun fungsi utama dari candi ini. Namun demikian, berkembang keyakinan yang cukup populer bahwa Candi Ngetos merupakan tempat pendharmaan Raja keempat Majapahit, Sri Hayam Wuruk. Dugaan ini merujuk pada nama Paramasakapura, yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai tempat pendharmaan raja tersebut.
Namun demikian, hasil telaah terhadap Pararaton Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit (Heri Purwanto, 2023), khususnya pada halaman 414 dan 422, memberikan perspektif baru yang menarik. Pada halaman 414 disebutkan bahwa:
“Bhra Hyang Wekasing Suka mokta, i saka Medini-rupa-rameku, 1311.”
Yang diterjemahkan sebagai:
“Bhra Hyang Wekasing Suka (Sri Hayam Wuruk) wafat pada tahun Saka 1311 (1389 Masehi).”
Dalam konteks ini, Bhra Hyang Wekasing Suka diyakini sebagai gelar anumerta dari Sri Hayam Wuruk, yang bermakna "yang diperdewakan sebagai akhir dari kesenangan." Menariknya, tidak disebutkan di mana dan apa nama pendharmaannya secara eksplisit.
Lebih lanjut, pada halaman 422 dari buku yang sama tertulis:
“Bhra Hyang Wekasing Suka mokta, sang mokta ring Indrabhawana, i sakajanma-netragni-silangsu, 1321, sang dhinarmeng Tajung, bhisekaning dharma ring Paramasakapura.”
Yang berarti:
“Bhra Hyang Wekasing Suka wafat, berpulang ke Indrabhawana (kahyangan Indra) pada tahun Saka 1321 (1399 M), dan dicandikan di Tajung dengan nama pendharmaan Paramasakapura.”
Jika dicermati secara kronologis, Bhra Hyang Wekasing Suka yang disebut dalam kutipan terakhir tidak mungkin merujuk pada Hayam Wuruk, karena telah wafat sepuluh tahun sebelumnya. Maka, sangat mungkin bahwa gelar Bhra Hyang Wekasing Suka ini merujuk pada cucunya—putra dari Wikramawardhana dan Kusumawardhani—yang mewarisi nama anumerta yang sama.
Dengan demikian, asumsi bahwa Candi Ngetos merupakan tempat pendharmaan Hayam Wuruk patut dikaji ulang secara kritis. Sebaliknya, ada indikasi kuat bahwa pendharmaan yang disebut sebagai Paramasakapura di wilayah bernama Tajung (yang diduga sebagai nama kuna dari Ngetos) adalah milik cucu Hayam Wuruk yang juga bergelar Bhra Hyang Wekasing Suka.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa identifikasi "Tajung" sebagai nama lama dari Desa Ngetos pun masih berada dalam ranah spekulatif. Minimnya data arkeologis maupun filologis yang dapat dijadikan rujukan membuat posisi Tajung dalam peta sejarah Jawa Timur masih terbuka untuk interpretasi.
Sejarah pada hakikatnya bersifat dinamis yang senantiasa dapat berubah seiring dengan penemuan baru dan pendekatan ilmiah yang lebih cermat. Selama belum ditemukan bukti otentik seperti prasasti atau dokumen sezaman yang secara eksplisit menyebutkan fungsi Candi Ngetos, maka seluruh dugaan—baik bahwa candi ini adalah pendharmaan Hayam Wuruk, cucunya, atau bahkan bangunan dari masa Medang—masih sah untuk diajukan. Tentu saja, setiap klaim historis tersebut harus didukung dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sebagai penutup, Candi Ngetos adalah warisan budaya yang layak dijaga dan diteliti lebih lanjut. Menelusuri jejak sejarahnya tidak hanya akan memperkaya pemahaman kita tentang masa lampau, tetapi juga menjadi bagian dari upaya merawat identitas budaya bangsa yang berakar dari kebesaran peradaban Nusantara.
Penulis : John - Anggota Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (KOTASEJUK)