NEWS & ENTERTAINMENT MEDIA

Contact online

Website AG CYBER TV tidak bisa di akses tanpa Javascript
Silahkan Aktifkan Javascript di browser Anda !!Subscribe Us


Semua karya otentik dari AG Cyber TV di proteksi ,
tidak diperbolehkan mengambil sebagian atau keseluruhan isi berita asli karya kami tanpa izin redaksi.

Pemindahan Ibukota dari Berbek Ke Nganjuk, Jejak Sejarah dan Peringatan 145 Tahun BOYONG NATA PRAJA


Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi dan Wakil Bupati Trihady Cahyo Saputro saat peringatan Boyong Nata Praja ke 145. (Foto : Kotasejuk)




Nganjuk – Pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten dari Berbek ke Nganjuk pada 6 Juni 1880 merupakan tonggak sejarah penting dalam perjalanan birokrasi dan perkembangan wilayah Kabupaten Nganjuk. Kebijakan besar ini diprakarsai oleh Bupati R.M.A.A. Sosrokoesoemo III dengan pertimbangan geografis, strategis, dan historis yang kuat, serta mendapat restu dari pemerintah kolonial Belanda.

Berbek, yang sejak tahun 1745 menjadi ibu kota kabupaten, terletak di kaki Gunung Wilis dengan kondisi alam berbukit dan sulit dijangkau. Masyarakatnya mayoritas petani, dan kehidupan ekonomi mereka sempat tertekan akibat sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan pajak tanah (landrente) yang memberatkan. Perdagangan dan pertumbuhan infrastruktur pun stagnan, membuat Berbek semakin kurang layak sebagai pusat administrasi.

Sosrokoesoemo III memindahkan ibu kota ke Nganjuk dengan dua alasan utama: kondisi geografis yang datar dan strategis, serta nilai historis Nganjuk yang dulunya bernama Anjuk Ladang, tempat kemenangan Mpu Sindok melawan pasukan Pamalayu sekitar tahun 929 M. Tempat ini kemudian diberi status Sima Swatantra oleh Mpu Sindok sebagaimana tercatat dalam Prasasti Candi Lor.

Pemindahan ini didukung penuh oleh pemerintah kolonial karena lokasi Nganjuk mendukung pengembangan jalur kereta api, lebih mudah diakses, dan memiliki potensi ekonomi dari sektor perkebunan dan pertambangan.

Tahun 2025 menandai 145 tahun peringatan perpindahan pusat pemerintahan dari Berbek ke Nganjuk, yang kini dikenal sebagai "Hari Boyong Nata Praja dan Sedekah Bumi Kabupaten Nganjuk".

Peringatan tersebut ditandai dengan kirab budaya: Pusaka Tunggul Wulung dan Jurang Penatas serta Replika Pendapa Kabupaten Berbek diarak dari Kecamatan Berbek menuju Pendopo Kabupaten Nganjuk. Prosesi ini disertai pawai kereta kuda yang membawa Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi dan Wakil Bupati Trihandy Cahyo Saputro, diikuti jajaran pejabat mulai dari DPRD, Kepala OPD, camat, hingga tokoh masyarakat.

Rangkaian acara tersebut mengedepankan nuansa adat Jawa sebagaimana pertama kali boyong pemerintahan dilakukan tahun 1880 silam, menghadirkan kembali semangat leluhur dalam konteks budaya kekinian.

Dalam sambutannya, Bupati Marhaen Djumadi menegaskan bahwa peringatan ini bukan semata-mata seremoni.

“Peringatan ini tidak fokus pada ritualnya, tetapi menitikberatkan pada prosesi budaya yang bisa menumbuhkan semangat kebersamaan serta meningkatkan perekonomian rakyat melalui UMKM,” ungkapnya.

Boyong Nata Praja menjadi refleksi bagi masyarakat Nganjuk untuk tetap menjaga warisan leluhur, memperkuat identitas budaya, dan bersama-sama mendorong kemajuan daerah berbasis kearifan lokal, meskipun pelaksanaannya tahun ini diundur pada tanggal 12 Juni karena 6 Juni kemarin bertepatan dengan Hari Raya Iedul Adha. (John)