Nganjuk, – Aroma dugaan korupsi dalam pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Kedungdowo, Kecamatan Nganjuk, mulai memanas! Dua warga desa nekat mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk untuk menuntut kejelasan atas laporan yang mereka layangkan tiga bulan lalu—namun hingga kini belum juga membuahkan hasil. (30/6/2025)
Salah satu warga yang datang, Agus, dengan nada kecewa mempertanyakan lambannya penanganan dugaan ketidaktransparanan dan pungutan liar (pungli) dalam pelaksanaan PTSL tahun 2024.
"Sudah tiga bulan kami melapor, tapi tidak ada kabar apa pun. Jangan sampai ada pembiaran!" ujar Agus geram di hadapan awak media, Selasa (1/7/2025).
Menurut laporan warga, setiap pemilik bidang tanah dikenai biaya Rp600 ribu untuk pengurusan sertifikat. Dengan total 975 bidang, jumlah dana yang terkumpul mencapai ratusan juta rupiah. Namun, Agus mengungkap adanya kejanggalan besar dalam penggunaannya.
“Pihak desa mengaku dana habis untuk konsumsi Rp106 juta, tapi saya cek langsung ke warung, ternyata hanya habis Rp42 juta! Lalu ke mana sisanya?” ungkapnya dengan nada heran.
Tidak hanya itu, warga juga menyoroti adanya pungutan tambahan antara Rp1 juta hingga Rp1,5 juta untuk pemecahan sertifikat waris. Ironisnya, biaya itu tidak pernah diumumkan secara terbuka sebelumnya.
"Ini seperti jebakan! Biaya muncul belakangan dan tidak merata. Ada yang bayar Rp1 juta, ada yang Rp1,5 juta. Tidak ada dasar hukumnya," tambah Agus.
Warga kecewa karena Kejari Nganjuk menyampaikan bahwa kasus ini telah dilimpahkan ke Inspektorat. Padahal, dugaan penyalahgunaan dana publik seharusnya bisa langsung ditangani oleh aparat penegak hukum.
Kasus ini mencerminkan potensi penyalahgunaan dana program nasional yang seharusnya membantu rakyat kecil. Jika dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah bisa runtuh. Dugaan praktik pungli dan manipulasi anggaran di tingkat desa harus ditangani secara serius dan transparan.
Agus dan warga lainnya mendesak Kejari untuk turun tangan langsung, bukan sekadar melimpahkan. Mereka ingin penegakan hukum yang tegas agar pelaku—jika terbukti—tidak leluasa bermain dengan dana publik.
editor : Sari“Kami butuh keadilan. Jangan sampai PTSL jadi ladang bisnis oknum,” pungkasnya.