Nganjuk, — Sebuah video amatir berdurasi dua menit yang menampilkan keluhan wali murid terkait dugaan praktik pungutan liar (pungli) di SMAN 1 Kertosono, Nganjuk (yang dikenal luas dengan sebutan "Smaker"), viral di media sosial dan memicu reaksi publik. (30/5/2025)
Dalam video tersebut, seorang wali murid dari keluarga Mawar menyampaikan keberatan atas besaran iuran yang disebut sebagai “uang partisipasi wali murid”. Menurut pengakuannya, besaran iuran tersebut berbeda-beda dan ditentukan berdasarkan pekerjaan orang tua siswa, yang dinilai tidak adil dan sarat diskriminasi.
> “Kami merasa terbebani. Katanya partisipasi, tapi nominalnya bisa berbeda tergantung pekerjaan. Jadi, seperti tidak ada patokan yang jelas,” ujar perwakilan keluarga Mawar.
Pernyataan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa iuran tersebut merupakan bentuk pungli terselubung, karena tidak sesuai dengan prinsip sumbangan sukarela sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pihak Sekolah Membantah
Kepala SMAN 1 Kertosono, Murtoyo, membantah keras tudingan pungli. Ia menegaskan bahwa semua iuran di sekolah tersebut bersifat sukarela dan telah melalui proses musyawarah bersama komite sekolah.
> “Itu tidak benar. Tidak ada pungli berkedok iuran di sekolah kami. Semua iuran bersifat sukarela dan sudah disepakati bersama komite,” tegas Murtoyo.
Namun, tanggapan tersebut belum mampu meredakan kegelisahan masyarakat. Beberapa wali murid lainnya mulai angkat suara dan meminta adanya klarifikasi serta audit terhadap kebijakan iuran sekolah.
Desakan Pemeriksaan oleh Cabdin
Seiring dengan viralnya video tersebut, desakan pun menguat agar Cabang Dinas Pendidikan (Cabdin) Kabupaten Nganjuk segera turun tangan. Pengamat hukum, Anang Hartoyo, menyatakan bahwa bila iuran ditentukan berdasarkan status pekerjaan atau kondisi ekonomi wali murid, maka hal itu bukan lagi sumbangan sukarela, melainkan pungutan yang tidak sah.
> “Jika iuran ditentukan berdasarkan pekerjaan, itu telah melanggar asas keadilan dan dapat dikategorikan sebagai pungli,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan sejumlah dasar hukum yang melarang pungutan semacam itu, antara lain:
Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang hanya memperbolehkan sumbangan sukarela.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 181, yang melarang satuan pendidikan memungut biaya tanpa dasar hukum.
UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 huruf e, yang mengatur sanksi pidana bagi pejabat yang memaksa seseorang memberikan sesuatu secara tidak sah.
Tiga Langkah Mendesak yang Diharapkan
Anang menekankan bahwa Cabdin Nganjuk, sebagai otoritas pendidikan tingkat kabupaten/kota yang memiliki kewenangan atas SMA/SMK, memiliki tanggung jawab pembinaan dan pengawasan.
Ia mendesak agar Cabdin segera:
1. Melakukan audit menyeluruh dan klarifikasi langsung terhadap kebijakan iuran di SMAN 1 Kertosono.
2. Memberikan sanksi administratif apabila terbukti terjadi pelanggaran dalam bentuk pungutan tidak sah.
3. Mendorong pihak sekolah dan komite untuk menyampaikan pernyataan terbuka kepada masyarakat demi memulihkan kepercayaan publik.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Cabdin Nganjuk terkait polemik tersebut. Jika tidak segera ditangani secara transparan dan akuntabel, dikhawatirkan kasus ini akan menjadi preseden buruk yang mencoreng dunia pendidikan di Nganjuk serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan negeri.
> “Jangan biarkan dunia pendidikan tercemar oleh praktik transaksional dan penyalahgunaan wewenang. Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga soal nilai dan integritas,” pungkas Anang.
Red